Energi fusi nuklir telah lama dianggap sebagai sumber energi bersih yang hampir tak terbatas, yang dapat menjadi solusi revolusioner untuk krisis iklim. Namun, untuk mencapai energi fusi nuklir, ilmuwan harus mengatasi tantangan besar yang terkait dengan plasma, yaitu gas yang dipanaskan hingga jutaan derajat Celsius dan dijebak dalam medan magnet yang kuat di dalam reaktor berbentuk donat.
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana mencegah plasma menjadi tidak stabil dan lolos dari medan magnet, yang dapat merusak reaktor dan menghentikan reaksi fusi. Untuk itu, ilmuwan dari Universitas Princeton dan Laboratorium Fisika Plasma Princeton di AS telah mengembangkan sebuah model kecerdasan buatan (AI) yang dapat memprediksi dan mencegah ketidakstabilan plasma selama reaksi fusi .
Model AI ini menggunakan algoritma pembelajaran mesin yang disebut reservoir computing untuk menganalisis data dari sensor-sensor yang dipasang di dalam reaktor fusi. Dengan cara ini, model AI dapat belajar pola-pola yang menunjukkan awal dari ketidakstabilan plasma, dan kemudian memberikan sinyal kepada sistem kontrol untuk menyesuaikan medan magnet dan menjaga plasma tetap stabil.
Tim ilmuwan telah menguji model AI ini di dua reaktor fusi eksperimental, yaitu Korea Superconducting Tokamak Advanced Research (KSTAR) di Korea Selatan dan National Spherical Torus Experiment-Upgrade (NSTX-U) di AS. Hasilnya, model AI dapat memprediksi ketidakstabilan plasma dengan akurasi lebih dari 90% dan dengan waktu lebih cepat daripada metode konvensional.
Penemuan ini adalah langkah penting bagi pengembangan energi fusi nuklir, yang diharapkan dapat menjadi sumber energi yang aman, bersih, dan berkelanjutan untuk masa depan. 🌍
GIPHY App Key not set. Please check settings